Temuan investigasi Majalah Tempo
edisi terbaru mengenai persengkongkolan antara dokter dan perusahaan
farmasi amat memprihatinkan. Praktek kotor itu masih
berlangsung hingga sekarang, bahkan modusnya tak banyak berubah.
Sebelumnya, 14 tahun lalu, Tempo juga melakukan penelisikan serupa dengan
hasil yang mirip pula.
Penegak hukum, entah itu Komisi
Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, kepolisian, atau setidaknya Ikatan
Dokter Indonesia semestinya turun tangan. Suap membuat harga obat
meroket. Publik dirugikan. Biaya perusahaan farmasi untuk menyogok
dokter cukup besar, yakni 40 sampai 45 persen dari harga obat.
Dokter dan perusahaan farmasi
seharusnya bisa dijerat dengan Undang-undang Pemberantasan Korupsi.
Hadiah atau imbalan untuk dokter karena telah membikin resep obat dari
perusahaan farmasi semestinya dikategorikan sebagai gratifikasi. Yang
jelas, Kode Etik Kedokteran melarangnya. Dokter tidak boleh
“membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi, perusahaan alat
kesehatan atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter”.
Khusus dokter di lingkungan Kementerian
Kesehatan terikat pula Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 14/2014 tentang
Pengendalian Gratifikasi. Intinya sama, ada larangan untuk menerima imbalan
dari perusahaan farmasi.
Memerangi suap dokter amat penting
karena tak hanya merugikan rakyat tapi juga memicu ekonomi biaya tinggi
sekaligus menciptakan persaingan bisnis yang tidak sehat. Berikut ini
realitas yang mengejutkan:
1. Uang Triliunan untuk Dokter
Farmasi termasuk termasuk
industri yang kebal krisis ekonomi. Di tengah ekonomi lesu,
industri ini masih tumbuh antara 10 hingga 15 persen
pada semester pertama 2015. Pada semester kedua, diperkirakan juga
akan tumbuh dengan angka sama. Ini berarti industri farmasi bisa mencetak
omzet Rp 55 sampai 57,5 triliun pada tahun ini karena omzet tahun lalu
sekitar Rp 50 triliun.
Jika sekitar 40 persen dari harga obat
digunakan untuk promosi yang tak wajar atau untuk menyuap dokter, betapa
besar nilai dana yang disia-siakan itu. Jumlahnya bisa mencapai Rp 22
triliun!
2. Seorang Dokter Bisa Mendapat Miliaran
Dari investigasi Tempo terungkap,
seorang dokter internis mendapatkan setoran sekitar Rp 1 miliar
dari sebuah perusahaan farmasi. Uang itu ditransfer dalam 15 kali
transaksi. Pada 2014 ia menerima Rp 678 juta dan Rp 332 juta pada 2013. Tempo
juga mendapat bukti dalam bentuk fotokopi kwitansi dan cek atas nama seorang
dokter yang lain. Ia mendapatkan cek senilai Rp 400 juta pada Mei 2013.
Tak cuma uang, dokter juga kerap ditawari
hadiah lain seperti berwisata, beribadah haji, dan bonus lain yang
menggiurkan.
3. Asal Bikin Resep
Iming-iming itu menyebabkan seorang dokter
enteng saja menulis resep obat bermerek yang mahal. Dokter juga gampang
sekali memberikan obat antibiotik atau vitamin yang tak dibutuhkan oleh
pasien.
Ada semacam aturan main antara perusahaan
farmasi dan dokter. Seorang dokter harus mengumpulkan resep dengan nilai
sebanyak 5 kali lipat dari setoran atau hadiah. Misalnya, si dokter
disuap Rp 100 juta, maka ia harus membikin resep senilai Rp 500
juta.