Dikisahkan bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua orang
wanita yang berpuasa, lalu ada yang menceritakan perihal keduanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, di sini ada dua orang wanita yang
berpuasa, keduanya hampir mati karena kehausan.” Ternyata Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam malah berpaling
dan tidak menggubrisnya. Orang itu pun datang lagi kepada beliau dan kembali
menceritakan kejadian tersebut. Dia berkata, “Wahai Rasulullah keduanya hampir
mati.” Maka Rasulullah shallallahu‘alaihi
wa sallam bersabda, “Panggilkeduanya.” Akhirnya kedua
wanita itu pun datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta untuk diambilkan sebuah
ember, lalu beliau bersabda, “Muntahlah!” Maka salah satu dari keduanya pun muntah, ternyata dia memuntahhkan air
nanah bercampur darah sehingga memenuhi setengah ember. Lalu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kepada wanita yang satunya untuk muntah, dan dia pun memuntahkan nanah
bercampur darah sehingga ember itu penuh, lalu beliau bersabda, “Kedua wanita ini berpuasa dari apa yang
dihalalkan oleh Allah namun malah berbuka dengan yang diharamkan oleh-Nya,
keduanya duduk-duduk untuk makan daging manusia.”
Kemasyhuran
Kisah
Kisah ini cukup masyhur dan banyak disampaikan oleh sebagian penceramah
terutama saat bulan Ramadhan untuk memperingatkan kaum muslimin yang sedang
berpuasa agar tidak melakukan perbuatan haram semacam menggunjing.
Derajat Kisah
Kisah ini lemah. Syaikh al-Albani (Silsilah Abdits Dho’ifah, no.519) menyebutkan hadits:
“Sesungguhnya
kedua orang wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah namun
berbuka dengan apa yang diharamkan oleh Allah dan keduanya. Salah seorang dari
keduanya duduk pada yang lainnya lalu keduanya memakan daging manusia.”
Kemudian beliau (al-Albani) berkata, “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5:431)
dari seseorang dari Ubaid maula Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: -lalu rowi hadis ini
menceritakan kejadian di atas-. Sanad hadis ini lemah karena ada seorang rowi
yang tidak disebut namanya.
Al-Hafizh al-Iraqi (1:211) berkata, ‘Dia seorang yang tidak dikenal.’ Hadis
ini juga diriwayatkan oleh ath-Thoyalisi (1:188), beliau berkata, ‘Telah
menceritakan kepada kami Robi dari Yazid dari Anas.’ Sanad ini sangat lemah.
Robi’ (yang dimaksud) ini adalah Robi’ bin Shobih, dia seorang yang lemah.
Sedangkan Yazid (yang dimaksud di sini) adalah Yazid bin Aban ar-Ruqosyi, dia
seorang yang matruk (hadisnya ditinggalkan).”
Pelajaran
dari Kisah
Pelajaran pertama
Kendati diketahui bahwa hadis ini lemah, janganlah seorang pun beranggapan
bahwa ghibah (menggunjing
orang lain) saat puasa diperbolehkan. Pembahasan tentang lemahnya hadis ini
sama sekali tidak menunjukkan hal itu. Akan tetapi, perlunya dibahas tentang
kelemahan kisah ini hanya untuk menunjukkan bahwa kisah ini tidak boleh
dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengenai masalah ghibah, tidak ada seorang
pun yang meragukan bahwaghibah adalah haram,
baik pada saat puasa maupun tidak. Ketika menafsirkan Surat Al-Hujurot ayat 12
di atas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ghibah haram menurut kesepakatan para ulama dan tidak ada perkecualian
sedikit pun selain yang lebih kuat masalahnya seperti untuk jarh danta’dil atau untuk sebuah nasihat.”
Imam al-Qurthubi berkata, “Para ulama sepakat bahwa ghibah merupakan dosa besar.”
Terlalu banyak dalil yang menunjukkan atas hal itu, di antaranya adalah
ayat di atas dan sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada saat di-mi’raj-kan saya melewati
suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah dan
dada mereka. Maka aku bertanya,‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang makan
daging manusia (berbuat ghibah, pen.) dan mencela kehormatan orang lain’.” (HR. Abu Dawud:
4878, lihat Shohih Targhib: 2839)
Di samping itu, orang yang melakukan ghibah saat berpuasa tidak akan berpahala. Dari Abu Hurairah beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa
yang tidak meninggalkan ucapan haram dan malah mengerjakannya, maka Allah tidak
butuh dia meninggalkan makan dan minumnya’.” (HR. al-Bukhori)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai, maka jangan
berkata kotor, dan jangan berbuat kebodohan. Jika ada seseorang yang
memerangimu atau mencelamu maka katakanlah: ‘saya sedang puasa.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Pelajaran
Kedua
Apakah ghibah membatalkan
puasa ataukah tidak? Jawabannya, ghibah dan perbuatan haram lainnya tidaklah membatalkan hakikat puasa. Hanya
perbuatan haram tersebut bisa membatalkan atau mengurangi pahala puasa,
sebagaimana keterangan di atas. Sementara itu, Imam Ibnu Hazm menganggap bahwa
semua perbuatan haram tersebut bisa membatalkan puasa seseorang. Beliau berkata
(Al-Muhalla, no. 734), “Puasa
juga bisa batal dengan menyengaja berbuat maksiat, apa pun perbuatan maksiat
tersebut tanpa ada satu pun yang terkecuali, jika dia melakukannya sengaja dan
ingat kalau sedang puasa. Seperti menyentuh atau mencium selain istrinya,
berdusta, ghibah, namimah (mengadu domba),
sengaja meninggalkan sholat, berbuat zhalim (aniaya), atau perbuatan haram
lainnya.”
Namun, yang benar –insya Allah- adalah pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa ghibah tidaklah
membatalkan puasa. Wallahu a’lam.