Begini Suasana Ramadan di Kota Paling Toleran se-Jawa




Bulan suci Ramadhan berlangsung tiap tahun, di balik ibadah puasa tersebut, ada hal menarik di kota paling toleran se-pulau Jawa, yakni Salatiga. Sebab, keberagaman agama yang ada, ternyata malah semakin mempererat kesatuan dan persatuan warganya. 


Sore menjelang berbuka, di Jalan Diponegoro Kota Salatiga, tepatnya di depan Gereja Katolik Santo Paulus Miki terdapat pemandangan yang berbeda dibanding sebelumnya. Puluhan jemaat, baik pria mau pun wanita, terlihat berdiri di pinggir jalan sembari membagikan takjil atau makanan ringan untuk berbuka puasa bagi warga yang lewat. Siapa pun yang melewati ruas jalan tersebut, langsung disodori makanan terbungkus plastik. 

Sementara para jemaat membagikan makanan kepada pengguna jalan, di halaman gereja Katolik terbesar di Salatiga tersebut, terdapat meja berukuran besar yang di bagian atasnya teronggok takjil. Agar warga mafhum, ada tulisan lumayan jelas berbunyi: Takjil gratis, silakan ambil. Karena sudah diberi lampu hijau, tak pelak, baik yang berpuasa mau pun tidak, tanpa malu- malu banyak yang nyelonong mengambilnya. Puluhan jemaat Gereja Katolik membagikan takjil  


Kendati berbagi takjil ini tidak setiap hari dilakukan, namun, aksi para jemaat Gereja Katolik Santo Paulus Miki memperlihatkan bahwa mereka memiliki kepedulian terhadap umat muslim yang tengah menjalankan ibadahnya dan kebetulan tengah dalam perjalanan menjelang berbuka. Pluralisme beragama yang kerap membuat iri warga kota lainnya. 

Di depan gereja sendiri, tepat di bawah tulisan Gereja Katolik Santo Paulus Miki, terdapat ucapan Selamat Menjalankan Ibadah Puasa berukuran cukup besar. Begitu pun gereja-gereja Kristen lainnya, ucapan yang sama terlihat terpampang di halamannya masing- masing. Seakan, para umat berbeda keyakinan ini mencoba memperlihatkan bahwa toleransi antar umat beragama memang teramat tinggi di Kota Salatiga. 


Hal yang sama juga dilakukan sekelompok pemuda yang tergabung dalam klub motor Starking Salatiga. Di mana, para penggemar sepeda motor yang heterogen dan mempunyai keyakinan berbeda satu dengan lainnya, dua kali seminggu membagikan takjil gratis di ruas jalan strategis. Keinginan berbagi tanpa membedakan sekat agama ini, diketahui telah berjalan cukup lama. Saban memasuki bulan suci Ramadhan, mereka selalu menggelar aksi serupa. Anak- anak klub motor ikut berbagi Tempat Ibadah.


Berbagi Tempat Ibadah
Sebagaimana diketahui, Kota Salatiga, di tahun 2015 oleh Lembaga Setara Institute dinobatkan menjadi kota paling toleran nomor 3 se- Indonesia atau kota yang memiliki toleransi tertinggi di Pulau Jawa. Dengan populasi penduduknya yang beragama Islam mencapai 75 persen. Sedang sisanya merupakan pemeluk Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Kendati begitu, perbedaan beragama tak membuat kalangan minoritas terpinggirkan. Umat Islam yang mayoritas, tak pernah bertindak arogan. Demikian sebaliknya, golongan minoritas juga tidak mau memancing permusuhan. Sehingga, berpuluh tahun hidup berdampingan, praktis belum pernah muncul keributan berbau SARA. 

Di bawah kendali Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dipimpin KH. Tamam Qoulany, setiap persoalan yang timbul, selalu berhasil diredam di belakang meja. Penduduk Salatiga yang berjumlah 190 ribu (data Pemilu Legislatif tahun 2014), memang unik. Keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan beberapa perguruan tinggi lainnya, belakangan membuat kota kecil ini didiami oleh 23 suku. Ada ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air, menjadi warga setempat. Bisa karena mendapatkan jodohnya di sini, atau memang sudah enggan meninggalkan kota sejuk tersebut. Lapangan untuk kebaktian Natal juga dimanfaatkan Sholat Id 



Hal yang paling kentara atas tingginya toleransi beragama di Salatiga, terlihat saat Sholat Idhul Fitri mau pun Idhul Adha. Di mana, lapangan Pancasila yang berada di tengah kota, biasanya menjadi tempat ibadah favorit bagi umat muslim. Giliran umat Nasrani memperingati kebaktian Paskah dan Natal, lokasi ini juga dijadikan areal ibadah ribuan jemaat. Artinya, di tempat yang sama, rutin dijadikan ibadah dua agama yang berbeda. Itulah Salatiga. Itulah sedikit gambaran Ramadhan di kota paling toleran, Salatiga. Apa pun keyakinannya, apa pun perbedaannya, bukan berarti kerukunan umat menjadi terganggu. Mayoritas, penghuni kota ini bangga dengan keberagaman yang ada. Tidak pernah muncul kerusuhan, belum pernah terjadi bencana, yang ada hanya kedamaian. Salatiga memang beda! Bagaimana kota anda? (*)