Ini kejadian yang saya alami beberapa waktu lalu, tepatnya di tanggal 3 Oktober 2015. Tepatnya pada hari Sabtu kemarin. Sesaat setalah saya turun dari kereta api di Stasiun Pasar Senen. Karena menunggu jemputan, akhirnya saya pun memutuskan untuk duduk di Mushola di dekat pintu masuk Stasiun Pasar Senen.
Ada kejadian yang buat saya cukup menggelitik. Dimana ketika ada seseorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana mencoba membersihkan mushola tersebut. Beliau menyapu, kemudian mengepel lantai mushola bagian dalam dan luar mushola. Tidak lupa beliau juga membersihkan tempat wudlu mushola tersebut.
Nah, tidak beberapa lama ada 3 orang yang datang dan mencuci kaki pada tempat wudlu tanpa melepas alas kaki, padahal sudah tertempel untuk melepas alas kaki saat memasuki tempat wudlu. Dengan tegas wanita ini mengingatkan orang-orang tersebut. Bahkan, ada seseorang yang masih menjawab ketika diingatkan dan tidak terima dengan alasan seperti ini "sandal saya kena muntahan orang, gimana nyucinya kalo ndak naik?" ucap salah seorang yang tidak terima ketika diingatkan.
Sebelum saya bahas tentang karakternya, masih ada lanjutan ceritanya.Kemudian sang Ibu masih melanjutkan membersihkan mushola dengan mengepel teras mushola. Ia kembali mengingatkan beberapa orang yang tidur di teras, karena jelas ada larangan tidur di area mushola. Ini berjalan lancar, kemudian ada orang yang merokok tepat di samping saya di lokasi larangan merokok. Dan ia pun langsung diingatkan oleh Ibu ini. Pergilah pria perokok tersebut. Namun, pria disamping saya di sisi lain (sebut saja mr X) berceletuk "ibu ini kayak yang punya aja, digaji enggak, tapi sok ngatur-ngatur. Dia tu orang gang sini juga mas (sembari menghadap saya)".
Larangan Pada musholla
Saya cukup kaget mendengar ia berkata demikian, padahal yang dilakukan sang Ibu ini semuanya benar menurut saya. Dan harusnya kita bangga dengan hadirnya ibu ini. Mushola bisa selalu bersih dan tanpa meminta imbalan apapun. Nah, tidak lama kemudian Pria Mr X ini makan di area mushola. Jelas saja sang ibu langsung melarangnya cuma ini tidak menyuruhnya pergi secara langsung.
Ibu : "Pak boleh makan tapi jangan sampai cemat cemot (berantakan)"
Mr X : "orang makan kok cemat cemot" (sembari menghadap saya dan menersukan makannya)
Beberapa waktu kemudian makan Mr X ini tumpah dan mengotori bagian teras mushola. Mr X ini pun sempat panik dan ia membersikan sebisanya dan langsung pergi begitu saja. (mungkin dia malu)
Cerita di atas yang benar-benar saya alami menjadi gambaran, apakah demikian karakter orang-orang Indonesia. Padahal, sang ibu tidak mengkritik terlalu jauh, hanya menyampaikan aturan yang sudah dituliskan jelas dan ditempel pada dinding mushola. Namun, yang diterima bukanlah feedback positif.
Mulai dari aturan yang dilanggar hingga membuat alasan untuk membenarkan hal yang dilakukannya ketika melanggar menjadi sebuah kebiasaan orang-orang tersebut. Tak hanya kejadian ini saja, masih banyak kejadian di luar sana yang menggambarkan hal sejenis.
Entah kenapa karakter seperti ini seakan sudah menjadi tradisi seperti menolak perbaikan, menolak kiritikan, menolak ketika diingatkan. Bahkan, ia membalas dengan hal-hal negatif kepada orang yang mengkritiknya. Padahal jika aturan yang sudah diterapkan itu ditaati pastinya semuanya akan berjalan dengan baik.
Semoga hal-hal seperti ini bisa dirubah dan kita bisa mulai terbuka dengan masukan seperti apapun yang tujuannya membangun. Kita boleh memberikan alasan tapi tanpa perlu dengan emosi. Apalagi ketika kita memang salah dalam melakukan sesuatu. Yuk perbaiki diri kita menjadi lebih baik lagi mulai dari sekarang.